Senin, 16 Maret 2015

MAKALAH BELAJAR PEMBELAJARAN “TEORI SOSIO KULTURAL”


MAKALAH BELAJAR PEMBELAJARAN
TEORI SOSIO KULTURAL

LOGO UNRAM


KELOMPOK VI :
1.      SAMSUL HADI                         (E1E212213)
2.      SAPARWADI                            (E1E212215)
3.      TOMMY AZZUMAR AC        (E1E212239)
4.      TRI ARTHA MIAWAN           (E1E212240)
5.      WAHYU HIDAYAT                 (E1E212246)
6.      WENDI WIRIANTO                (E1E212250)



PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR/IIIE
JURUSAN ILMU PENDIDIKAAN
UNIVERSITAS MATARAM
2013
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Teori belajar sosiokultur berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 7) telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan. Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.
Ainul Yaqin (2005: 6) berpendapat bahwa “budaya adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus”. General dalam hal ini berarti setiap manusia di dunia ini mempunyai budaya, sedangkan spesifik berarti setiap budaya pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya. Sedangkan Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 39) berpendapat bahwa “Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuaan kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
H.A.R Tilaar (2002: 41) sendiri berpendapat bahwa kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan yang artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan dan motivasi.
Pentingnya kebudayaan dalam kehidupan manusia inilah yang kemudian mendasari bahwa kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Melihat kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, Syamsul Ma‟arif (2005: 90) berpendapat bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang heterogenitas dan pluralitas.
Pentingnya menghargai budaya dalam pendidikan ini karena dorongan yang timbul dalam diri manusia sadar ataupun tidak sadar adalah hasil kebudayaan di mana pribadi itu hidup. H.A.R Tilaar (2002: 51 ) mengutip pendapat yang disampaikan John Gillin perkembangan kepribadian manusia dalam kebudayaan dilihat dari pandangan behaviorisme dan psikoanalitis :
1.        Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar
2.        Kebudayaan mendorong secara sadar aataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan tertentu.
3.        Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”, terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong setiap kelakuan yang sesuai dengan sistem nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
4.        Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar.




B.     Rumusan masalah
Mengkaji latar belakang diatas dapat diambil beberapa permasalahan sebagai kajian dari pembuatan makalah ini yakni diantaranya :
1.      Apa pengertian Aliran teori sosio kultural ?
2.      Apa pengaruh sisio kultural pada perkembangan kognisi ?
3.      Bagaimana aplikasi teori sosio kultural ?
4.      Apa kelebihan dan kekurangan teori sosio kultural ?


C.    Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui Aliran Teori Sosio Kultural
2.      Untuk mengetahui pengaruh sisio kultural pada perkembangan kognisi
3.      Untuk mengetahui aplikasi teori sosio kultural
4.      Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori sosio kultural






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Beberapa Definisi Belajar Dan Pembelajaran menurut para ahli :
1.      Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. (Prof. Dr. Suyono, M.Pd & Drs. Hariyanto, M.S, 2012 : 9)
2.      Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru,sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. (Dr. M. Sobry Sutikno, 2006 : 4)
3.      Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku melalui interaksi dengan lingkungan. (Hamalik, 2009: 37 )
4.      Menurut Winkel belajar adalah aktivitas mental atau psikis yang belangsung dalam intraksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkat pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikap-sikap. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 107 )
5.      Mnurut Slameto, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah lakuyang baru secara keseluruhan, berupa hasil pengalamannya sendiri dalam intraksi dengan lingkungannya.( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 107 )
6.      Sardiman menyatakan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah terjadi perubahan tingkah laku. Belajar akan membawa suatu perubahan pada individu-individu yang belajar. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 108 )
7.      pembelajaran sebagai separangkat tindakan yang di rancang untuk mendukung proses belajar peserta didik dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung didalam diri peserta didik. ( M. Sobry Sutikno, 2006 : 31)
8.      Menurut Dimyati dan mudyono (1999) mengartikan pembelajaran sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Menurut Lindgren (1997) menyebutkan bahwa fokus sistem pembelajaran mencakup tiga aspek yaitu.
1.      siswa merupakan faktor yang paling penting sebab tanpa siswa tidak akan ada proses belajar
2.      proses belajar adalah apa yang dihayati siswa apabila mereka belajar,bukan apa yang harus dilakukan pendidik untuk memb elajarkan materi pembelajaran.
3.      situasi belajar : situasi belajar adalah lingkungan tempat terjadinya proses belajar dan semua faktor yang mempengaruhi proses belajar seperti pendidik,kelas, dan instraksi didalamnya. ( M. Sobry Sutikno, 2006 : 31-32)
9.      Menurut Syaiful pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh guru dan belajar dilakukan oleh siswa. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 23 )
10.  Johnson dalam Atwi Suparman mendefinisikan pembelajaran sebagai intraksi antara pengajar dengan satu atau lebih individu untuk belajar, direncanakan sebelumnya dalam rangka untuk menumbuhkembangkan pengetahhuan, keterampilan, dan pengalaman belajar kepada peserta didik. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 23 )
11.  Hamalik merinci makna pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedu yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Seterusnya ia mengatakan bahwa manusia yang terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboraturium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur tulis, fotografis, slide dan film, audio dan vidio tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri dariruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik belajar, ujian dan sebagainya. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 23 )
12.  Pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah ( facilitated ).  (Dewi Salma Prawiradilaga Eveline Siregar. 2004, 04)

B.     Pengertian Teori Sosio Kultural
Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural:
1.      Piaget
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial menjadi faktor sekunder.
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Perkembangan kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan sehingga terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi dan akomodasi).
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
2.      Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) secara spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :
1.      Membantu memecahkan masalah
Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.
2.      Memudahkan dalam melakukan tindakan
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.
3.      Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang ada di sekitarnya.
4.      Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.

Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa “siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar Sosiokultur ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar sosiokultur meliputi tiga konsep utama, yaitu :
a.       Hukum Genetik tentang Perkembangan
Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran soaial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran sosial di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai intrapsikologis atau intramental)
Teori sosiokultur menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.
Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara spesifik, namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.
b.      Zona Perkembangan Proksimal
Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development (ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar sosiokultur Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai „level perkembangan aktual‟ yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Secara jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti yang dikutip oleh Luis C. Moll (1993: 157) :
Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut yang belum pernah matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-fungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga” perkembangan yang dibandingkan dengan “buah” perkembangan.
Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan Proksimal sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan”. Karena fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan orang lain untuk membantu proses pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu Suharta dalam makalahnya berpendapat bahwa :
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat mereka (Guruvalah). Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD merupakan suatu wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat mengemudikan dengan kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang yang lebih ahli yang memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang interaksi antara kawan sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting untuk memfasilitasi perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.
Dalam makalah lain, Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan level perkembangan yang dicapai ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”.
Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi sosial yang penuh, di mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih faham melampaui apa yang difahaminya.
Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran yang menyangkut ZPD, yaitu:

Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa

Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru memasangkan kancing.

Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.

Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk berfikir abstrak.
Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.
c.       Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan; (2) scaffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini, anak-anak dibantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham. Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46) berpendapat bahwa :
Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik. Artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.

Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :
1.   Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
2.   Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
3.   Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
4.   Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
5.   Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi

Dalam teori belajar sosiokultur ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Karena pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar sosiokultur yang banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2.      Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
3.      Mengajar adalah membantu siswa belajar
4.      Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar
5.      Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6.      Guru adalah fasilitator



C.    Pengaruh Sosio-Kultural pada Perkembangan Kognisi
a.       Pengaruh sosial pada perkembangan kognisi
Menurut Vygotsky, anak adalah seorang eksplorer yang mempunyai rasa ingin tahu tinggi, sangat aktif dalam pembelajaran, selalu ingin menemukan sendiri, dan mengembangkan pemahaman baru. Namun demikian Vygostky lebih menekankan pada kontribusi sosial dalam proses perkembangan dan tidak melihat peranan besar dalam penemuan sendiri. Perkembangan pertama dalam lingkup sosial muncul dalam individu sebagai kategori interpsikological dan kemudian pada anak sebagai kategori intrapsikologikal. Contohnya adalah voluntary attention (perhatian otomatis), logical memory (memori logis), pembentukan konsep, dan perkembangan kemampuan memilih.
Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada anak terjadi melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman, Tutor ini menjadi model dalam berperilaku atau menyediakan instruksi verbal untuk anak. Model inilah yang disebut dengan dialog kooperatif atau kolaboratif. Anak mencari pemahaman perilaku atau instruksi dari tutor, menginternalisasi informasi dan menggunakannya untuk memformulasikan perilaku mereka.
b.      Pengaruh Budaya pada perkembangan kognisi
Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan harus dilihat dari perspektif 4 tahap yang saling berhubungan dalam interaksi anak dengan lingkungan:
1)      Perkembangan Ontogenic, adalah perkembangan individu sepanjang hayat, digunakan oleh hampir semua ahli psikologi dalam menganalisa perkembangan manusia.
2)      Perkembangan Microgenic, mengacu pada perubahan yang terjadi pada waktu yang relatif singkat, misalnya perubahan yang dapat dilihat pada saat anak memecahkan masalah penjumlahan pada setiap minggunya selama 11 minggu (Siegler & Jenkins, 1989).
3)      Perkembangan Phylogenic adalah perubahan yang berskala evolusi, diukur dalam ribuan dan bahkan jutaan tahun. Vygostsky sendiri berpendapat bahwa untuk pemahaman sejarah spesies dapat memberikan masukan pada perkembangan anak.
4)      Perkembangan Sociohistorical, mengacu pada perubahan yang terjadi pada budaya, kepercayaan, norma, dan teknologi.
Disini Vygotsky menekankan bagaimana seseorang berkembang dalam lingkungan yang berubah. Dengan berfokus pada individu atau pun pada lingkungan tidak cukup untuk menjelaskan mengenai perkembangan seseorang. Untuk itu perkembangan sebaiknya dipelajari dari konteks sosial dan budaya.

D.    Aplikaasi Teori Sosio Kulturl
Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
a.       Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan prilaku masing-masing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.
b.      Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
c.       Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
1.      Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
2.      Siswa
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
3.      Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.



E.     Kelebihan dan Kekurangan Terori Sosio Kultural
Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan:
1.      Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang;
2.      Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya;
3.      Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental;
4.      Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah;
5.Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung oleh karena itu diteliti oleh para teoriwan perilaku.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang mengelola sumber belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya, siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
B.     Saran
Sebagai mahasiswa calon guru sekolah dasar tentunya kita harus mengetahui bahwa anak usia SD berada dalam Zona Perkembangan Proksimal dimana fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Untuk membantu proses pematamgam tersebut kita harus bisa menjadi fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, mediator yang mengelola sumber belajar, juga sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa.
Daftar pustaka

Anwar, Kasful & Hendra Harmi, 2011, Perencanaan Sistem Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Bandung: ALFABETA
Siregar, Dewi Salma Prawiradilaga Eveline, 2004, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta Timur: PRENADA
Suyono,  2011,  Belajar Dan Pembelajaran, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Hariyanto, 2011, BelajarDan  Pembelajaran, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Sobry Sutikno, M. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar