MAKALAH BELAJAR
PEMBELAJARAN
“TEORI SOSIO
KULTURAL”
KELOMPOK VI :
1.
SAMSUL HADI (E1E212213)
2.
SAPARWADI (E1E212215)
3.
TOMMY AZZUMAR AC (E1E212239)
4.
TRI ARTHA MIAWAN (E1E212240)
5.
WAHYU HIDAYAT (E1E212246)
6.
WENDI WIRIANTO (E1E212250)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR/IIIE
JURUSAN ILMU
PENDIDIKAAN
UNIVERSITAS MATARAM
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori belajar sosiokultur berangkat dari penyadaran tentang betapa
pentingnya sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang
tidak bisa dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang
sangat erat, di mana pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang
sama, yaitu nilai-nilai. Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 7) telah menjalin tiga
pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang
bersamaan. Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan
hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.
Ainul Yaqin (2005: 6) berpendapat bahwa “budaya adalah sesuatu
yang general dan spesifik sekaligus”. General dalam hal ini berarti setiap
manusia di dunia ini mempunyai budaya, sedangkan spesifik berarti setiap budaya
pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya. Sedangkan
Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 39) berpendapat bahwa “Budaya atau peradaban
adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuaan kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
H.A.R Tilaar (2002: 41) sendiri berpendapat bahwa kebudayaan
merupakan suatu proses pemanusiaan yang artinya di dalam kehidupan berbudaya
terjadi perubahan, perkembangan dan motivasi.
Pentingnya kebudayaan dalam kehidupan manusia inilah yang kemudian
mendasari bahwa kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Melihat
kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, Syamsul Ma‟arif
(2005: 90) berpendapat bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan
kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang
heterogenitas dan pluralitas.
Pentingnya menghargai budaya dalam pendidikan ini karena dorongan
yang timbul dalam diri manusia sadar ataupun tidak sadar adalah hasil
kebudayaan di mana pribadi itu hidup. H.A.R Tilaar (2002: 51 ) mengutip
pendapat yang disampaikan John Gillin perkembangan kepribadian manusia dalam
kebudayaan dilihat dari pandangan behaviorisme dan psikoanalitis :
1.
Kebudayaan memberikan
kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar
2.
Kebudayaan mendorong secara
sadar aataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan tertentu.
3.
Kebudayaan mempunyai sistem
“reward and punishment”, terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Setiap
kebudayaan akan mendorong setiap kelakuan yang sesuai dengan sistem nilai dalam
kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap
kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu
masyarakat budaya tertentu.
4.
Kebudayaan cenderung
mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar.
B. Rumusan masalah
Mengkaji
latar belakang diatas dapat diambil beberapa permasalahan sebagai kajian dari
pembuatan makalah ini yakni diantaranya :
1. Apa
pengertian Aliran teori sosio kultural ?
2. Apa
pengaruh sisio kultural pada perkembangan kognisi ?
3. Bagaimana
aplikasi teori sosio kultural ?
4. Apa
kelebihan dan kekurangan teori sosio kultural ?
C. Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui Aliran
Teori Sosio Kultural
2.
Untuk mengetahui pengaruh sisio kultural
pada perkembangan kognisi
3.
Untuk mengetahui aplikasi teori sosio
kultural
4.
Untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan teori sosio kultural
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Beberapa
Definisi Belajar Dan Pembelajaran menurut para ahli :
1.
Belajar adalah suatu aktivitas atau
suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan,
memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. (Prof. Dr. Suyono,
M.Pd & Drs. Hariyanto, M.S, 2012 : 9)
2.
Belajar merupakan suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru,sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. (Dr. M. Sobry
Sutikno, 2006 : 4)
3.
Belajar adalah suatu proses perubahan
tingkah laku melalui interaksi dengan lingkungan. (Hamalik, 2009: 37 )
4.
Menurut Winkel belajar adalah aktivitas
mental atau psikis yang belangsung dalam intraksi aktif dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan tingkat pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan
sikap-sikap. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 107 )
5.
Mnurut Slameto, belajar adalah suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
lakuyang baru secara keseluruhan, berupa hasil pengalamannya sendiri dalam
intraksi dengan lingkungannya.( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 107 )
6.
Sardiman menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan belajar adalah terjadi perubahan tingkah laku. Belajar akan membawa
suatu perubahan pada individu-individu yang belajar. ( Kasful Anwar dan Hendra
Harmi, 2011, 108 )
7.
pembelajaran sebagai separangkat
tindakan yang di rancang untuk mendukung proses belajar peserta didik dengan
memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperan terhadap rangkaian
kejadian-kejadian internal yang berlangsung didalam diri peserta didik. ( M.
Sobry Sutikno, 2006 : 31)
8.
Menurut Dimyati dan mudyono (1999)
mengartikan pembelajaran sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan
siswa. Menurut Lindgren (1997) menyebutkan bahwa fokus sistem pembelajaran
mencakup tiga aspek yaitu.
1. siswa
merupakan faktor yang paling penting sebab tanpa siswa tidak akan ada proses
belajar
2. proses
belajar adalah apa yang dihayati siswa apabila mereka belajar,bukan apa yang
harus dilakukan pendidik untuk memb elajarkan materi pembelajaran.
3. situasi
belajar : situasi belajar adalah lingkungan tempat terjadinya proses belajar
dan semua faktor yang mempengaruhi proses belajar seperti pendidik,kelas, dan
instraksi didalamnya. ( M. Sobry Sutikno, 2006 : 31-32)
9.
Menurut Syaiful pembelajaran merupakan
komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh guru dan belajar dilakukan oleh
siswa. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 23 )
10.
Johnson dalam Atwi Suparman
mendefinisikan pembelajaran sebagai intraksi antara pengajar dengan satu atau
lebih individu untuk belajar, direncanakan sebelumnya dalam rangka untuk
menumbuhkembangkan pengetahhuan, keterampilan, dan pengalaman belajar kepada
peserta didik. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 23 )
11.
Hamalik merinci makna pembelajaran sebagai
suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material,
fasilitas, perlengkapan, dan prosedu yang saling mempengaruhi untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Seterusnya ia mengatakan bahwa manusia yang terlibat dalam
sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga
laboraturium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur tulis,
fotografis, slide dan film, audio dan vidio tape. Fasilitas dan perlengkapan
terdiri dariruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur
meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik belajar, ujian dan
sebagainya. ( Kasful Anwar dan Hendra Harmi, 2011, 23 )
12.
Pembelajaran adalah upaya menciptakan
kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah ( facilitated
). (Dewi Salma Prawiradilaga Eveline
Siregar. 2004, 04)
B. Pengertian Teori Sosio
Kultural
Ada
2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural:
1. Piaget
Piaget
berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu artinya
pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial
yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu utama
terjadinya belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan
lingkungan sosial menjadi faktor sekunder.
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Perkembangan kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan sehingga terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi dan akomodasi).
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Perkembangan kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan sehingga terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi dan akomodasi).
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
2. Vygotsky
Jalan
pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul tindakan
sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang
dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari
individu itu sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori
belajar ko-kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan
utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain
dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD)
atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam
perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan
masalah yang dihadapinya
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini
menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan
budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi
pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial)
intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan
menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani
(2005: 44) secara spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut
Vygotsky adalah :
1.
Membantu memecahkan
masalah
Alat berfikir mampu membuat seseorang
untuk memecahkan masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu
menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan
permasalahan hidupnya.
2.
Memudahkan dalam
melakukan tindakan
Vygotsky berpendapat bahwa alat
berfikirlah yang mampu membuat seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan
yang seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.
3.
Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu
mampu memperluas wawasan berfikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan
pengetahuan yang ada di sekitarnya.
4.
Melakukan sesuatu
sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh
maka seseorang akan semakin intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan
mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.
Inti dari teori belajar sosiokultur ini
adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan
semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang
menyatakan bahwa “siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan
menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan
aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori
belajar Sosiokultur ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika
konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar sosiokultur
meliputi tiga konsep utama, yaitu :
a.
Hukum Genetik tentang Perkembangan
Perkembangan
menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau
keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang
melewati dua tataran. Tataran soaial tempat orang-orang membentuk lingkungan
sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan
tataran sosial di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan
sebagai intrapsikologis atau intramental)
Teori
sosiokultur menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor
primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan
kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang diyakini
muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini
dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena
anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses
internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.
Seperti
yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky meyakini bahwa kematangan
merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara spesifik, namun
demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan
menentukan kematangan selanjutnya.
b.
Zona Perkembangan Proksimal
Zona
Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development (ZPD) merupakan konsep
utama yang paling mendasar dari teori belajar sosiokultur Vygotsky. Dalam Luis
C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu
domain mempunyai „level perkembangan aktual‟ yang dapat dinilai dengan menguji
secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut.
Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona
Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal
sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk
memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti
yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Secara jelas Vygotsky
memberikan pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti yang dikutip
oleh Luis C. Moll (1993: 157) :
Zona
Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut yang belum pernah
matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-fungsi tersebut akan matang
dalam situasi embrionil pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut dapat
diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga” perkembangan yang dibandingkan
dengan “buah” perkembangan.
Yuliani
(2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan Proksimal sebagai fungsi-fungsi atau
kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan”. Karena
fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan orang lain untuk
membantu proses pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu Suharta dalam makalahnya
berpendapat bahwa :
Zone
of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Zona
Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling
baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat mereka
(Guruvalah). Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD
merupakan suatu wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat mengemudikan
dengan kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang yang lebih ahli
yang memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang interaksi antara
kawan sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting untuk memfasilitasi
perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.
Dalam
makalah lain, Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan level perkembangan yang
dicapai ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”.
Hal
ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi
sosial yang penuh, di mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang
dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih faham
melampaui apa yang difahaminya.
Dalam
Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang terjadi
dalam perkembangan dan pembelajaran yang menyangkut ZPD, yaitu:
Tahap
1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang
anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika akan
berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya begitu
besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa
Tahap
2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Anak
mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos kakinya sendiri
tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan. Memakai
bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru memasangkan kancing.
Tahap
3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Anak
mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap pagi
sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus dilakukannya,
misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap
4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk
berfikir abstrak.
Terwujudnya
perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa
contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu
kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia
hendak berangkat ke sekolah.
Pada
empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat melakukan
sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang diberikan
oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal
tersebut.
c.
Mediasi
Mediasi
merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk
memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat
mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda
atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar
pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian
dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita
dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan; (2) scaffalding
di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk
memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah
ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda
atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum
faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci
utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan
sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini,
anak-anak dibantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham.
Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46) berpendapat bahwa :
Mekanisme
hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh
tema mediasi semiotik. Artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung
di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-sosiokultural
(intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.
Berdasarkan
teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :
1.
Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya
anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan
proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
2.
Pembelajaran perlu dikaitkan dengan
tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
3.
Pembelajaran lebih diarahkan pada
penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada
kemampuan intramentalnya.
4.
Anak diberikan kesempatan yang luas
untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
5.
Proses Belajar dan pembelajaran tidak
sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi
Dalam teori belajar sosiokultur ini,
pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang
terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan
aktif dari orang tersebut. Karena pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan
sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain.
Prinsip-prinsip utama teori belajar sosiokultur yang banyak digunakan dalam
pendidikan menurut Guruvalah :
1.
Pengetahuan dibangun oleh siswa secara
aktif
2.
Tekanan proses belajar mengajar terletak
pada Siswa
3.
Mengajar adalah membantu siswa belajar
4.
Tekanan dalam proses belajar lebih pada
proses dan bukan pada hasil belajar
5.
Kurikulum menekankan pada partisipasi
siswa
6.
Guru adalah fasilitator
C. Pengaruh Sosio-Kultural pada Perkembangan
Kognisi
a.
Pengaruh sosial pada perkembangan kognisi
Menurut Vygotsky, anak adalah
seorang eksplorer yang mempunyai rasa ingin tahu tinggi, sangat aktif dalam
pembelajaran, selalu ingin menemukan sendiri, dan mengembangkan pemahaman baru.
Namun demikian Vygostky lebih menekankan pada kontribusi sosial dalam proses
perkembangan dan tidak melihat peranan besar dalam penemuan sendiri.
Perkembangan pertama dalam lingkup sosial muncul dalam individu sebagai
kategori interpsikological dan kemudian pada anak sebagai kategori
intrapsikologikal. Contohnya adalah voluntary attention (perhatian otomatis),
logical memory (memori logis), pembentukan konsep, dan perkembangan kemampuan
memilih.
Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada anak terjadi melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman, Tutor ini menjadi model dalam berperilaku atau menyediakan instruksi verbal untuk anak. Model inilah yang disebut dengan dialog kooperatif atau kolaboratif. Anak mencari pemahaman perilaku atau instruksi dari tutor, menginternalisasi informasi dan menggunakannya untuk memformulasikan perilaku mereka.
Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada anak terjadi melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman, Tutor ini menjadi model dalam berperilaku atau menyediakan instruksi verbal untuk anak. Model inilah yang disebut dengan dialog kooperatif atau kolaboratif. Anak mencari pemahaman perilaku atau instruksi dari tutor, menginternalisasi informasi dan menggunakannya untuk memformulasikan perilaku mereka.
b.
Pengaruh Budaya pada perkembangan kognisi
Vygotsky berpendapat bahwa
perkembangan harus dilihat dari perspektif 4 tahap yang saling berhubungan
dalam interaksi anak dengan lingkungan:
1)
Perkembangan Ontogenic, adalah perkembangan individu
sepanjang hayat, digunakan oleh hampir semua ahli psikologi dalam menganalisa
perkembangan manusia.
2)
Perkembangan Microgenic, mengacu pada perubahan yang
terjadi pada waktu yang relatif singkat, misalnya perubahan yang dapat dilihat
pada saat anak memecahkan masalah penjumlahan pada setiap minggunya selama 11
minggu (Siegler & Jenkins, 1989).
3)
Perkembangan Phylogenic adalah perubahan yang berskala
evolusi, diukur dalam ribuan dan bahkan jutaan tahun. Vygostsky sendiri
berpendapat bahwa untuk pemahaman sejarah spesies dapat memberikan masukan pada
perkembangan anak.
4)
Perkembangan Sociohistorical, mengacu pada perubahan
yang terjadi pada budaya, kepercayaan, norma, dan teknologi.
Disini Vygotsky menekankan
bagaimana seseorang berkembang dalam lingkungan yang berubah. Dengan berfokus
pada individu atau pun pada lingkungan tidak cukup untuk menjelaskan mengenai
perkembangan seseorang. Untuk itu perkembangan sebaiknya dipelajari dari
konteks sosial dan budaya.
D. Aplikaasi Teori Sosio Kulturl
Aplikasi teori sosio-kultural
dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi
pada 3 jenis pendidikan yaitu:
a.
Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari
lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali melihat, memahami, mendapatkan
pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan
prilaku masing-masing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang
berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga
beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga,
keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.
b.
Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis
budaya banyak bermunculan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan
perilaku pada anak, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk
membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial
masyarakatnya.
c.
Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada
pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
1.
Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di
Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24
tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006
tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang
standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia
memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk
mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional
melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
2.
Siswa
Dalam pembelajaran KTSP anak
mengalami pembelajaran secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu
pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak
mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran memberikan
kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya pencapaiannya
sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
3.
Guru
Guru bukanlah narasumber
segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih berperanan sebagai fasilitator,
mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak
peran yang lain, oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat
diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul secara
mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.
E. Kelebihan dan Kekurangan Terori Sosio
Kultural
Berdasarkan teori Vygotsky akan
diperoleh beberapa keuntungan:
1.
Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan
berkembang;
2.
Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya;
3.
Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi
untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental;
4.
Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan
pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural
yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah;
5.Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
5.Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Kelemahan dari teori
sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-proses belajar
yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber
belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung
oleh karena itu diteliti oleh para teoriwan perilaku.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru
berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan
memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan
keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang
mengelola sumber belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan
penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan
motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya, siswalah yang
dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses
belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena
persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan
proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi
dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu
kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa
beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks
yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana
pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari
komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui
aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
B. Saran
Sebagai mahasiswa calon
guru sekolah dasar tentunya kita harus mengetahui
bahwa anak usia SD berada dalam Zona Perkembangan Proksimal dimana fungsi-fungsi atau
kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Untuk
membantu proses pematamgam tersebut kita harus bisa menjadi fasilitator,
mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki
gairah untuk berfikir, fasilitator yang membantu menunjukkan jalan keluar bila
siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, mediator yang mengelola sumber
belajar, juga sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi
yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari
dalam diri siswa.
Daftar
pustaka
Anwar, Kasful &
Hendra Harmi, 2011, Perencanaan Sistem
Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Bandung: ALFABETA
Siregar, Dewi Salma
Prawiradilaga Eveline, 2004, Mozaik
Teknologi Pendidikan, Jakarta Timur: PRENADA
Suyono, 2011, Belajar Dan Pembelajaran, Bandung: Pt
Remaja Rosdakarya.
Hariyanto, 2011, BelajarDan Pembelajaran, Bandung: Pt Remaja
Rosdakarya.
Sobry Sutikno, M. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar